Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Cari Blog Ini

RSS

Sosiologi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berkelompok dan saling membutuhkan satu sama lain. Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan ekonomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.
Dilihat dari objek penyelidikannya sosiologi pendidikan adalah bagian dari ilmu sosial terutama sosiologi dan ilmu pendidikan yang secara umum juga merupakan bagian dari kelompok ilmu sosial. Sedangkan yang termasuk dalam lingkup ilmu sosial antara lain: ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu pendidikan, psikologi, antropologi dan sosiologi. Dari sini terlihat jelas kedudukan sosiologi dan ilmu pendidikan.
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan telah memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode dan susunan pengetahuan yang jelas. Objek penelitiannya adalah tingkah laku manusia dan kelompok. Sudut pandangnya memandang hakikat masyarakat, kebudayaan dan individu secara ilmiah. Sedangkan susunan pengetahuannya terdiri dari atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip mengenai kehidupan kelompok sosial, kebudayaan dan perkembangan pribadi. Dengan segala keunikan yang dimiliki oleh sosiologi pendidikan, kali ini kami selaku pemakalah akan membahas pengertian, ruang lingkup, sejarah, dan tujuan dan kegunaan sosiologi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara harfiah atau etimologi (definisi nominal), Sosiologi berasal dari bahasa Latin: Socius = teman, kawan, sahabat, dan logos = ilmu pengetahuan. Sedangkan menurut terminologi, definisi Sosiologi berdasarkan para pakar adalah sebagai berikut[1]:
a.   sosiologi adalah studi tentang hubungan antara manusia (human relationship). (Alvin Bertrand)
b.   sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, baik statis maupun dinamis. (Mayor Polak)
c.   sosiologi adalah ilmu masyarakat umum. (P.J. Bouwman)
d.   sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. (Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi).
Jadi kami selaku pemakalah dapat menyimpulkan bahwa sosiologi itu adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu interaksi seseorang dengan orang lain dan lingkungan masyarakat. Sekarang bagaimana dengan pengertian sosiologi pendidikan itu sendiri?
Mengenai pertanyaan diatas ada dua pendapat, yaitu:
1.   Menurut Prof. Dr. S. Nasution, MA. Mengatakan bahwa memberikan definisi sosiologi pendidikan tidak mudah. Para ahli pendidikan dan ahli sosiologi telah berusaha untuk memberikan definisi sosiologi pendidikan, namun definisi-definisi itu kebanyakan tidak terpakai oleh orang lapangan. Kesukaran untuk memperoleh definisi yang mantap tentang sosiologi pendidikan antara lain disebabkan[2]:
(a)  sukarnya membatasi bidang studi di antara bidang pendidikan dan bidang sosiologi.
(b)  kurangnya penelitian dalam bidang ini, dan
(c)  belum nyatanya sumbangannya kepada pendidikan umumnya dan pendidikan guru khususnya.
2.   Pendapat yang kedua, para ahli memberikan pengertiannya, yaitu[3]:
(a)  Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
(b)   Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
(c)  Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
(d)  Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
(e)    Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
(f)     Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
B. Ruang Lingkup
Berbicara mengenai ruang lingkup sosiologi pendidikan, hal ini tidak terlepas dari masyarakat. Oleh karena itu sosiologi disebut juga sebagai Ilmu Masyarakat atau Ilmu yang membicarakan masyarakat. Berikut kami akan tampilkan secara sistematis mengenai ruang lingkup pembahasan sosiologi sebagai berikut[4]:
1.   Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat.
Dalam kategori ini terdapat antara lain masalah-masalah sebagai berikut:
a.   fungsi pendidikan dalam kebudayaan
b.   hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan
c.   fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo.
d.   hubungan pendidikan dengan sistem tingkat atau status sosial
e.   fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya.
2.   Hubungan antar-manusia di dalam sekolah
Lapangan kedua ini menganalisis struktur sosial di dalam sekolah, pola kebudayaan di dalam sistem sekolah menunjukkan perbedaan dengan apa yang terdapat di dalam masyarakat di luar sekolah. Di dalam bidang ini dapat dipelajari:
a.   hakikat kebudayaan sekolah sejauh ada perbedaannya dengan kebudayaan di luar sekolah.
b.   pola interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan antara berbagai unsur di sekolah, kepemimpinan dan hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola interaksi informal sebagai terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya.
3.   Pengaruh sekolah terhadap kelakuan dan kepribadian semua pihak di sekolah
Dalam bidang ini diutamakan aspek proses pendidikan itu sendiri. Di sini kita analisis kepribadian dan kelakuan guru, murid dan lain-lain atas pengaruh partisipasi dalam keseluruhan sistem pendidikan.
4.   Sekolah dalam masyarakat
Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat disekitar sekolah. Antara lain dapat dipelajari:
a.   pengaruh masyarakat atas organisasi sekolah
b.   analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistem-sistem sosial dalam masyarakat luar sekolah
c.   hubungan antara sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan
d.   faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat bertalian dengan organisasi sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam keseluruhan kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut Drs. Ary H. Gunawan mengatakan bahwa ruang lingkup kajian sosiologi adalah sebagai berikut[5]:
a.   struktur sosial adalah jalinan dari seluruh unsur-unsur sosial
b.   unsur-unsur sosial, yang pokok adalah norma/kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial, dan lapisan sosial.
c.   proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.
d.   perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, seperti nilai, sikap, dan sebagainya.
Jadi kami selaku pemakalah menyimpulkan bahwa ruang lingkup sosiologi pendidikan adalah
  • Objek kajian sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia tersebut didalam masyarakat.
  • Jadi pada dasarnya sosiologi mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya.
  • Sosiologi mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap anggotannya.
C. Sejarah Sosiologi Pendidikan
Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan social yaitu hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hubungan sosial out dimulai dari hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga ketetangga[6].
Dalam hubungan sosial tersebut terjadilah proses pengenalan dan proses pengenalan tersebut mencakup berbagai budaya, nilai, norma dan tanggung jawab manusia, sehingga dapat tercipta corak kehidupan masyarakat yang berbeda-beda dengan masalah yang berbeda pula.
Sosiologi ini dicetuskan oleh Aguste Comte maka dari itu dia dikenal sebagai bapak sosiologi, ia lahir di Montpellier tahun 1798. Ia merupakan seorang penulis kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari Comte. Comte membagikan sosiologi atas statika social dan dinamika social dan sosiologi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1.   Bersifat empiris yaitu didsarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulatif.
2.   Bersifat teoritis yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dan hasil observasi.
3.   Bersifat kumulatif yaitu teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang ada kemudian diperbaiki, diperluas dan diperhalus
4.   Bersifat nenotis yaitu tidak mempersoalkan baik buruk suatu fakta tertentu tetapi untuk menjelaskan fakta tersebut.
Comte mengatakan bahwa tiap-tiap cabang ilmu pengetahuan manusia mesti melalui tiga tahapan perkembangan teori secara berturut-turut yaitu keagamaan atau khayalan, metafisika atau abstrak dan saintifik atau positif[7].
Setelah selesai perang dunia II, perkembangan masyarakat berubah secara drastis dimana masyarakat dunia mengingnkan adanya perubahan dalam menyahuti perkembangan dan kebutuhan baru terhadap penyesuaian perilaku lembaga pendidikan. Oleh karena itu disiplin sosiologi pendidikan yang sempat tenggelam dimunculkan kembali sebagai bagian dari ilmu-ilmu penting dilembaga pendidikan[8].
Menurut pendapat Drs. Ary H. Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4 fase, yaitu[9]:
a.   fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial.
b.   Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial.
c.   sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat.
Sedangkan Saint Simon dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho-Politique”.
Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
d.   pada fase yang terakhir ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.
D. Tujuan dan Kegunaan Sosiologi
Francis Broun mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memproleh dan mengorganisasi pengalamannya. Sedang S. Nasution mengatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah Ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memproleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari kedua pengertian dan beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disebutkan beberapa konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan, yaitu sebagai berikut[10]:
  1. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatiakan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak. Misalnya, anak yang terdidik dengan baik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa/tua akan cendrung menjadi manusia yang religius pula. Anak yang terdidik dalam keluarga intelektual akan cendrung memilih/mengutamakan jalur intlektual pula, dan sebagainya.
  2. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis perkembangan dan kemajuan social. Banyak orang/pakar yang beranggapan bahwa pendidikan memberikan kemungkinan yang besar bagi kemajuan masyarakat, karena dengan memiliki ijazah yang semakin tinggi akan lebih mampu menduduki jabatan yang lebih tinggi pula (serta penghasilan yang lebih banyak pula, guna menambah kesejahteraan social). Disamping itu dengan pengetahuan dan keterampilan yang banyak dapat mengembangkan aktivitas serta kreativitas social.
  3. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis status pendidikan dalam masyarakat. Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalammasyarakat sering disesuaikan dengan tingkatan daerah di mana lembaga pendidikan itu berada. Misalnya, perguruan tinggi bisa didirikan di tingkat propinsi atau minimal kabupaten yang cukup animo mahasiswanya serta tersedianya dosen yang bonafid.
  4. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan social. Peranan/aktivitas warga yang berpendidikan / intelektual sering menjadi ukuan tentang maju dan berkembang kehidupan masyarakat. Sebaiknya warga yang berpendidikan tidak segan- segan berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, terutama dalam memajukan kepentingan / kebutuhan masyarakat. Ia harus menjadi motor penggerak dari peningkatan taraf hidup social.
  5. Sosiologi pendidikan bertujuan membantu menentukan tujuan pendidikan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada filsafat hidup bangsa tersebut. Seperti di Indonesia, Pancasila sebagai filsafat hidup dan kepribadian bangsa Indonesia harus menjadi dasar untuk menentukan tujuan pendidikan Nasional serta tujuan pendidikan lainnya. Dinamika tujuan pendidikan nasional terletak pada keterkaitanya dengan GBHN, yang tiap 5 (lima) tahun sekali ditetapkan dalam Sidang Umum MPR, dan disesuaikan dengan era pembangunan yang ditempuh, serta kebutuhan masyarakat dan kebutuhan manusia.
  6. Menurut E. G Payne, sosiologi pendidikan bertujuan utama memberi kepada guru- guru (termasuk para peneliti dan siapa pun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan – latihan yang efektif dalam bidang sosiologi sehingga dapat memberikan sumbangannya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut pendapatnya, sosiologi pendidikan tidak hanya berkenaan dengan proses belajar dan sosialisasi yang terkait dengan sosiologi saja, tetapi juga segala sesuatu dalam bidang pendidikan yang dapat dianalis sosiologi. Seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan teknik mengajar yaitu metode sosiodrama, bermain peranan (role playing) dan sebagainya.dengan demikian sosiologi pendidikan bermanfaat besar bagi para pendidik, selain berharga untuk mengalisis pendidikan, juga bermanfaat untuk memahami hubungan antara manusia di sekolah serta struktur masyarakat. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari masalah – masalah sosial dalam pendidikan saja, melainkan juga hal – hal pokok lain, seperti tujuan pendidikan, bahan kurikulum, strategi belajar, sarana belajar, dan sebagainya. Sosiologi pendidikan ialah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola- pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Jika dilihat zaman peradaban yunani pada masa Plato (427-327 BC), pendidikannya lebih mengutamakan penciptaan manusia sebagai pemikir, kemudian sebagai ksatria dan penguasa. Pada zaman Romawi, seperti masa kehidupan Cicero (106-43 BC), pendidikan mengutamakan penciptaan manusia yang hmanistis. Pada abad pertengahan, pendidikan mengutamakan menjadikan manusia sebagai pengabdi Khalik (baik versi Islam maupun versi Kristiani). Pada abad pertengahan (1600-an-1800-an), melahirkan teori Nativisme (Rousseau, 1712-1778), Empirisme oleh Locke (1632-1704) dan konvergensi oleh Stern (1871-1939). Semuanya cendrung kepada nilai individu anak sebagai manusia yang memiliki karakteristik yang unik.
Menurut Nasution ada beberapa konsep tentang tujuan Sosiologi Pendidikan, antara lain sebagai berikut[11]: (1) analisis proses sosiologi (2) analisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis intraksi social di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat, (4) alat kemajuan dan perkembangan social, (5) dasar untuk menentukan tujuan pendidikan, (6) sosiologi terapan, dan (7) latihan bagi petugas pendidikan.
Konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim upaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri. Secara universalm tujuan dan fungsi pendidikan itu adalah memanusiakan manusia oleh manusia yang telah memanusia. Itulah sebabnya system pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal 3 adalah “ untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujaun nasional”. Menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalan: (1) untuk mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, (2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesiam (3) meningkatkan martabat manusia Indonesia, (4) mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-masusia Indonesia. Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri,mmeningkatkan mutu kehidupan, meninggikan martabat dalam ragka mencapai tujuan nasional[12].
Kegunaan atau faedah sosiologi untuk kehidupan sehari-hari, yaitu[13]:
1.   Untuk pekerjaan sosial, sosiologi memberikan gambaran/pengertian tentang berbagai problem sosial, sehingga dapat dicari solusinya secara tepat dan akurat.
2.   Untuk pembangunan pada umumnya, sosiologi memberikan pengertian tentang masyarkat secara luas, sehingga dengan gambaran tersebut para perencana dan pelaksana pembangunan dapat mencari pola pembangunan yang paling sesuai agar berhasil.
E.   Kesimpulan
Untuk memudahkan para audiens dalam memahami makalah kami ini, berikut kami akan merangkum sejumlah isi makalah kami secara ringkas dan padat, yaitu:
1.   Sosiologi ialah pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara sesama manusia (individu dan individu), antara individu dengan kelompok, serta sifat perubahan-perubahan dalam lembaga-lembaga dan ide-ide sosial.
2.   Latar belakang timbulnya sosiologi pendidikan ialah disebabkan karena masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat. Perubahan sosial itu menimbulkan cultural lag. Cultural lag ini merupakan sumber masalah sosial dalam masyarakat. Masalah sosial itu di alami oleh dunia pendidikan. Lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya kemudian ahli sosiologi menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk memecahkan masalah itu, maka lahirlah sosiologi pendidikan.
3.   Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sosiologi Politik


Pengertian Sosiologi Politik
Terdapat beberapa definisi tentang sosiologi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh sosiologi. Benang merahnya adalah bahwa sosiologi pada dasarnya memusatkan perhatiannya pada masyarakat dan individu, karena menurut sosiologi, masyarakat sebagai tempat interaksi tindakan-tindakan individu di mana tindakan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat. Sosiologi juga memahami tentang lembaga sosial dan kelompok sosial yang merupakan bagian dari masyarakat sebagai unit analisis sosiologi. Selain itu sosiologi juga mempelajari tentang tatanan sosial serta perubahan sosial.
Politik berkaitan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut dapat terlaksana. Perlu untuk dipahami bahwa tujuan yang telah ditentukan tersebut merupakan tujuan publik dan bukannya tujuan individu.
Sedangkan sosiologi politik dasarnya berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaan kegiatan sistem politik, yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya.
Sumbangan Pemikiran Teori Klasik pada Sosiologi Politik
Dari beberapa tokoh teori klasik sosiologi ada beberapa tokoh yang dianggap banyak memberikan kontribusi dalam hal teori yang sampai sekarangpun masih digunakan sebagai dasar berpikir dalam menjelaskan sosiologi politik. Tokoh tersebut antara lain adalah Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Ketiganya dapat dianggap sebagai tokoh yang utama dalam teori klasik.
Meskipun ketiganya tidak secara jelas menjelaskan tentang sosiologi politik tetapi teori-teori dan konsep-konsep mereka tersebut dapat memberikan suatu pemahaman yang mendalam tentang sosiologi politik dengan berdasarkan teori sosiologi klasik.
Persamaan ketiga tokoh tersebut dalam menjelaskan teorinya adalah:
  1. Memberikan analisis secara makro
  2. Penjelasan bersifat komparasi sejarah
  3. Mengemukakan adanya perubahan sosial
  4. Teorinya dapat diterapkan di semua tipe masyarakat
Setiap tokoh mempunyai pendekatan dan konsep yang berbeda dalam memberikan kontribusi dalam sosiologi politik. Marx dengan pendekatan materialisme historis dengan konsep tentang kelas, eksploitasi, alinasi, negara serta ideologi. Pendekatan Weber adalah analisis tipe ideal dan sosiologi intepretatif, dengan konsep rasionalisasi, otoritas, kelompok status serta partai politik. Sedangkan pendekatan Durkheim adalah fungsionalisme sosiologis melalui konsepnya solidaritas sosial, anomie dan kesadaran kolektif. Konsep kekerabatan, agama, ekonomi, stratifikasi dan sistem nilai dan kepercayaan bersama merupakan faktor-faktor sosial budaya yang banyak memberikan pengaruh pada pelaksanaan sistem politik, di mana masing-masing tokoh akan mengemukakan hipotesisnya dalam pelaksanaan kegiatan politik.
Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Sikap Perilaku Politik Individu
Keluarga
Dari urain di atas nampak bahwa peranan kehidupan keluarga dalam mendorong partisipasi politik seseorang cukup signifikan. Setidaknya dalam keluarga yang memiliki minat politik yang tinggi, cenderung homogen dalam pilihan politik, ditambah dengan tingkat kohesi keluarganya yang cukup tinggi, kecenderungan seorang anak untuk berpartisipasi dalam politik sebagaimana kehidupan politik keluargannya relatif tinggi.
Aspek-aspek kehidupan keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi partisipasi politik seorang anak, diantaranya karena:
  1. Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang anak
  2. Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) politik orang tua
  3. Tingkat keutuhan (cohesiveness) keluarga
  4. Tingkat minat orang tua terhadap politik
  5. Proses sosialisasi politik keluarga

Agama dan Ekonomi
Selain keluarga faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu adalah agama yang dianutnya. Dalam kenyataan pendidikan anak dalam keluarga antara lain mengajarkan tentang otoritas, yaitu otoritas orang tua. Otoritas ini merupakan perpaduan antara otoritas politik dan agama. Sementara organisasi keagamaan di luar rumah pada kenyataannya juga mensosialisasikan ajaran yang mengandung pendidikan politik. Dengan demikian agama yang memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran juga dapat mendorong individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Selain itu secara ekonomi melalui partisipasi dalam serikat-serikat pekerja juga dapat mendorong individu untuk ikut serta dalam kegiatan politik. Organisasi pekerja merupakan ajang kampanye dan mobilisasi massa untuk dapat ikut berpolitik.
Stratifikasi serta Sistem Nilai dan Kepercayaan
Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada perbedaan keyakinan dan pola perilaku individu di berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik. Perbedaan kelas akan tercermin pada praktik sosialisasi, aktivitas budaya, dan pengalaman sosialnya. Tingkat partisipasi individu dalam voting dilukiskan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, dan status individu tersebut.
Perilaku politik individu juga dipengaruhi oleh sistem nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dimana individu tersebut tinggal. Pada masyarakat Indonesia dijumpai sistem nilai dalam bermusyawarah. Sementara itu di Amerika Serikat sistem sekolah dianggap sebagai agen sosialisasi politik.
Pengertian Sosialisasi Politik
Terdapat berbagai macam definisi untuk mengartikan pengertian sosialisasi politik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses internalisasi nilai, pengenalan dan pemahaman, pemeliharaan dan penciptaan, serta proses eksternalisasi nilai-nilai dan pedoman politik dari individu/kelompok ke individu/kelompok yang lain. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Agen-agen Sosialisasi Politik
Dalam suatu proses sosialisasi nilai dan perilaku politik diperlukan agen-agen sosialisasi yang merupakan pihak yang melakukan transfer nilai. Agen pertama adalah keluarga dimana individu menerima warisan nilai-nilai pada tahap awal dalam hidupnya. Sosialisasi ini dapat terjadi secara represi atau partisipatoris. Sekolah juga merupakan agen sosialisasi politik sebab sekolah menjalankan fungsi transformasi ilmu pengetahuan, nilai dan sikap yang di dalamnya juga termasuk ilmu, nilai, dan sikap politik. Sosialisasi politik juga dapat melalui teman sebaya (peer group) yang sifatnya informal. Agen sosialisasi terakhir adalah media, dimana berita yang dilihat atau dibaca setiap hari merupakan sosialisasi yang efektif.
Pengertian Partisipasi Politik
Bertitik tolak dari beberapa definisi di atas, maka partisipasi politik secara umum bisa dikatakan merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakannya.
Di sisi lain, partisipasi politik pun diarahkan untuk memperkuat sistem politik yang ada. Dalam tataran ini partisipasi politik dipandang sebagai bentuk legitimasi dari sistem politik yang bersangkutan. Atau dengan kata lain partisipasi politik menjadi salah satu indikator signifikan atas dukungan rakyat baik terhadap pemimpinnya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya maupun bagi sistem politik yang diterapkannya.

Bentuk dan Model Partisipasi Politik
Partisipasi pada dasarnya merupakan kegiatan warga negara dalam rangka ikut serta menentukan berbagai macam kepentingan hidupnya dalam ruang lingkup dan konteks masyarakat atau negara itu sendiri. Karena itu partisipasi itu sendiri bisa beragam bentuk kegiatannya. Bagaimana pun, ekspresi orang dalam mengemukakan atau dalam merespon berbagai macam permasalahan dan kepentingan politiknya, satu sama lain akan berbeda-beda. Uraian di atas memperlihatkan bahwa partisipasi politik sebagai suatu bentuk kegiatan atau aktivitas dapat dilihat dari beberapa sisi. Ia bisa dilihat sebagai bentuk kegiatan yang secara sadar maupun tidak sadar atau dimobilisasi. Ia bisa dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri. Kemudian dapat pula dilakukan langsung ataupun tidak langsung, melembaga ataupun tidak melembaga sifatnya, dan seterusnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang adalah berdasarkan tinggi rendahnya dan kombinasi kedua faktor tersebut menghasilkan model partisipasi politik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
Menurut Brade Meyer
  • Sociology af the law – Menjadikan hukum sebagai alat pusat penelitian secara sosiologis yakni sama halnya bagaimana sosiologi meneliti suatu kelompok kecil lainnya. Tujuan penelitian adalah selain untuk menggambarkan betapa penting arti hukum bagi masyarakat luas juga untuk menggambarkan proses internalnya hukum.
  • Sociology in the law – Untuk memudahkan fungsi hukumnya, pelaksanaan fungsi hukum dengan dibantu oleh pengetahuanatau ilmu sosial pada alat-alat hukumnya.
  • Gejala social lainnya – Sosiologi bukan hanya saja mempersoalkan penelitian secara normatif (dassollen) saja tetapi juga mempersoalkan analisa-analisa normatif didalam rangka efektifitas hukum agar tujan kepastian hukum dapat tercapai.
Sejarah Lahirnya Sosiologi Hukum Sebagai Mata Kuliah
Sebelum tahun 1976 di Unpad lahir suatu mahzab yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja yang waktu itu sebagai Menteri Kehakiman dan Guru Besar Unpad diminta menyusun konsep hukum yang mendukung pembangunan oleh Bapenas, maka dari itu kemudian lahirlah konsep pembinaan hukum. Konsep pembinaan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja diantaranya yaitu :
  1. Hukum tidak meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan kaedah itu dalam kenyataan.
  2. Hukum adalah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya hukum.
Penjelasan :
  • Pada pengertian yang pertama kata kaedah mengandung makna yaitu Undang-undang          Normatif           Positivisme
  • Kata asas dan kaedah menggambarkan hukum sebagai gejala normative (hukum alam)
  • Kata lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai gejala social (sociological yurispudence)
  • Gejala social adalah gejala-gejala yang terdapat dalam masyarakat yang berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia (kemakmuran, kekuasaan, kedudukan, keadilan, kepastian, kegunaan dan kebahagiaan).
GBHN 1973 : Hukum tidak boleh menghambat proses pembangunan yang merupakan suatu proses yang menyangkut seluruh aspek-aspek kehidupan manusia.
GBHN 1978 : Hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan
Ex : Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat atau melarang adanya perkawinan anak-anak, hal tersebut merubah pemikiran masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.
GBHN 1983 : Hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat
Ex : Dalam Undang-Undang Hak Cipta, dimana hal tersebut merubah pemikiran masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.
Soiologi Hukum Sebagai Ilmu
Pada lahirnya sosiologi hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) disiplin ilmu, yaitu filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yang berorientasi dibidang hukum.
1Filsa. fat hukum
Konsep yang dilahirkan oleh aliran positivisme (Hans Kelsen) yaitu “stufenbau des recht” atau hukum bersifat hirarkis artinya hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya yaitu :
-          Grundnorm (dasar social daripada hukum)
-          Konstitusi
-          Undang-undang dan kebiasaan
-          Putusan badan pengadilan
Dalam filsafat hukum terdapat beberapa aliran yang mendorong tumbuh dan berkembangnya sosilogi hukum, diantaranya yaitu
  1. Mazhab sejarah, tokohnya Carl Von Savigny (hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh da berkembang bersama-sama masyarakat). Hal tersebut merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat, perkembangan hukum dari statu ke control sejalan dengan perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat modern.
  2. Mazhab utility, tokohnya Jeremy Bentham (hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia). Dimana manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan dan pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga-warga masyarakat secara individual). Rudolph von Ihering (social utilitarianism yaitu hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuan)
  3. Aliran sociological jurisprudence, tokohnya Eugen Ehrlich (hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law)
  4. Aliran pragmatical legal realism, tokohnya Roscoe Pound (law as a tool of social engineering), Karl Llewellyn, Jerome Frank, Justice Oliver (hakim-hakim tidak hanya menemukan huhum akan tetapi bahkan membentuk hukum)
2. Ilmu hukum
Yang mendukung ilmu soiologi hukum adalah ilmu hukum yang menganggap bahwa hukum itu adalah gejala social.
3. Sosiologi yang berorientasi dibidang hukum
Menurut Emile Durkhain mengungkapkan bahwa dalam masyarakat selalu ada solideritas social yang meliputi :
-          Solideritas social mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana dimana kaidah hukumnya bersifat represif (yang diasosiasikan dalam hukum pidana)
-          Solideritas social organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern dimana kaidah hukumnya bersifat restitutif (yang diasosiasikan dalam hukum perdata).
Max Weber dengan teori ideal type, mengungkapkan bahwa hukum meliputi :
-          Irasionil materil (pembentuk undang-undang mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun)
-          Irasionil formal (pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah diluar akan, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan)
-          Rasional materil (keputusan-keputusan para pembentuk undang-undnag dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi)
-          Rasional formal (hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum)
Kedudukan dan Letak Sosiologi Hukum Dibidang Ilmu Pengetahuan
Sosiologi adalah merupakan cabang dari ilmu hukum
Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum adalah cabang ilmu hukum yaitu ilmu hukum tentang kenyataan. Pendapat ini didasarkan pada pengertian tentang disiplin yaitu suatu ajaran tentang kenyataan yang meliputi :
-   Disiplin analitis : sosiologi, psikologi
-   Disiplin hukum (perspektif): ilmu hukum normative dan kenyataan (ilmu hukum kenyataan, sosiologi hukum, antropologi hukum
Hukum secara sosiologi  merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu himpunan nilai nilai, kaidah kaidah dari pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan kebutuhan pokok manusia dan saling mempengaruhi. Sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran pemikiran tersebut.
  • Aliran hukum alam (Aristoteles, Aquinas, Grotius)
−  Hukum dan moral
−  Keepastian hukum dan keadilan sebagai tujuan dari sistem hukum
  • Madzhab formalisme (austin, kelsen)
−   Logika hukum
−   Fungsi keajegan dari pada hukum
−   Peranan formal dari petugas hukum
  • Mazhab kebudayaan dan sejarah (Carl von savigny, Maine)
−   Kerangka budaya dari hukum, termasuk hubungan antara hukum dan sistem nilai nilai
−   Hukum dan perubahan perubahan social
  • Aliran utilitarianisme dan sociological jurisprudence (J. Bentham, Jhering, Eurlich, Pound)
−    Konsekuensi konsekuensi sosial dari hukum ( w. Friedman )
−    Penggunaan yang tidak wajar dari pembentuk undang undang
−    Klasifikasi tujuan tujuan mahluk hidup dan tujuan tujuan  social
  • Aliran sociological jurisprudence (Eurlich, Pound) dan legal realism (holmes, llewellyn, frank)
−    Hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
−    Faktor faktor politis dan kepentingan dalam hukum, termasuk hukum dan stratifikasi sosial
−    Hubungan antara kenyataan hukum dengan hukum yang tertulis
−    Hukum dan kebijaksanaan kebijaksanaan hukum
−    Segi perikemanusiaan dari hukum
−    Studi tentang keputusan keputusan pengadilan dan pola pola perikelakuannya
Sosiologi hukum adalah merupakan cabang sosiologi
Menurut Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa sosiologi hukum adalah merupakan cabang sosiologi yaitu sosiologi bidang hukum.
Ilmu yang mempelajari fenomena hukum, dari sisinya tersebut dibawah ini disampaikan beberapa karakteristik dari studi hukum secara sosiologis
  • Memberikan penjelasan mengenai praktik praktik hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat. Apabila praktik praktik tersebut dibedakan ke dalam pembuatan peraturan perundang undangan, penerapan dan pengadilan, maka sosiologi hukum juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi pada masing masing kegiatan hukum tersebut.
  • Senantiasa menguji keabsahan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, apabila hal itu dirumuskan dalam suatu pertanyaan, pertanyaan itu adalah : bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?, apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi peraturan? Terdapat suatu perbedaan yang bvesar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis yaitu bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada aturan hukum, sedang yang kedua senantiasa menguji dengan data empiris.
  • Berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perilaku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap penjelasan terhadap objek yang dipelajari. Sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata
Konsep-Konsep Sosiologi Hukum
1. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Control (Pengendalian Sosial)
Hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum, dalam artian UU yang dilakukan benar-benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat
Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.
2. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering
Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.
3. Wibawa Hukum
Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo, diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum.
Dalam artian sebagai berikut :
  • Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
  • Norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
  • Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
  • Pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara itu
  • Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum yang berlaku
4. Ciri-ciri Sistem Hukum Modern
Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan  prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya.
Ciri ciri hukum modern :
−   Terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam
−   Sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin
−   Bersifat universal dan dilaksanakan secara umum
−   Adanya hirarkis yang tegas
−   Melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur
−   Rasional
−   Dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman
−   Spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian
−   Hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat
−   Penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya negara memonopoli kekuasaan
−   Perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga negara (eksekutif – legislative – yudicatif)
Ciri manusia modern :
-    Rasional
-    Jujur
-    Tepat waktu
-    Efisien
-    rientasi ke masa depan
-    Tidak status symbol (gengsi)
5. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang stratanya rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hukum.
Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut kejahatan Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan tidak sedikit yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan wewenang yang dapat mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat bahwa mereka yang berstrata tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum hanya dipergunakan untuk mereka yang berstrata rendah.
6. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi
Merupakan naskah yang berisikan sorotan sosial hukum terhadap peranan sanksi dalam proses efektivikasi hukum. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Suryono efektifitas dari hukum diantaranya :
a. Hukum itu harus baik
-    Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)
-   Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang hukum tertentu harus sinkron)
-   Secara filosofis
b. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku.
c. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
d. Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :
  • Tahu hukum (law awareness)
  • Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)
  • Paham akan isinya (law acqium tance)
  • Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
e. Budaya hukum masyarakat
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
  1. Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
  2. Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
  3. Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga negara.
7. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum
Sadar : dari hati nurani
Patuh : Takut sanksi yang negatif
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.
Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.
  • kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Indicator kesadaran hukum :
  1. pengetahuan hukum
  2. pemahaman hukum
  3. sikap hukum
  4. pola perilaku hukum
  • kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengannn dukungan sosial
Faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum :
  • Compliance, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.
  • Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut
  • Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
  • Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada
Faktor penghambat perkembangan sosiologi hukum
  • Tidak samanya bahasa kerangka pemikiran yang digunakan antara ahli sosiologi dengan ahli hukum
  • Sulitnya bagi para sosiologi hukum untuk menempatkan dirinya dialam yang normatif
  • Pada umumnya para sosiolog dengan begitu saja menerima pendapat bahwa hukum merupakan himpunan peraturan-peraturan yang statis.
  • Kadangkala seorang sosiolog merasakan adanya kesulitan-kesulitan untuk menguasai keseluruhan data tentang hukum yang demikian banyaknya yang pernah dihasilkan oleh beberapa generasi ahli-ahli hukum
  • Para ahli hukum lebih memusatkan perhatian pada kejadian-kejadian konkret sedangkan para sosiolog menganggap kejadian konkret tersebut sebagai refleksi dari gejala-gajala atau kecenderungan-kecenderungan umum
Cabang Sosiologi Hukum (Soeryono)
  1. Paradigma (the genetic sociology of law)
−        Sampai sejauh mana hukum dapat mempengaruhi tingkah laku manusia
−        Bagaimanakah cara yang paling efektif dari hukum dala pembentukan perilaku
−        Apakah hukum yang membentuk perilaku atau sebaliknya
Contoh : UU Nomor 1 tahun1974 (kawin muda), UU Narkotika (orang tua diajak berpikir rational, petani diajak berpikir rational)
  1. Soiologi Teoritis dan Praktis
Sosiologi praktis
−        Sosiologi teoritis yaitu meneliti dasar sosial dari hukum positif tertulis
−        Mempelajari tentang tumbuh dan berkembangnya hukum positif tertulis
−        Lebih ditekankan pada penelitian bertujuan untuk mneghasilkan generalisasi atau hipotesa
Contoh : UU bagi hasil
Sosiologi praktis
−        Sosiologi praktis yaitu meneliti efektifitas dari hukum dalam masyarakat
−        Dapat menganalisa konstruksi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat
Contoh : Kasus pungutan liar, UU tentang pungutan tidak jalan
Hukum-gejala social yaitu UU Penanaman Modal
Hukum-politik yaitu UU Pemilu
Hukum-budaya yaitu UU Peerguruan Tinggi
2. Soiologis Empiris
Yaitu hipotesa dicocokan dengan keadaan yang sebenarnya atau melihat hukum yang erat kaitannya dengan gejala sosial lainnya.
Contoh : UU Nomor 1 tahun1974 pasal 2
UU Narkotika
UU Lingkunga hidup
Ruang lingkup Sosiologi Hukum
Dasar sosial dari hukum dengan anggapan bahwa hukum timbul dan tumbuh dari proses sosial lainnya (the genetic sociology of law)
Efek hukum terhadap gejala-gejala social lain (the operational sociology of law)
  • Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan modern sesuai dengan budaya masing-masing
  • Psikologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan jiwa manusia dengan tujuan penyerasian terhadap hukum
  • Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang memperbandingkan sistem hukum yang berlaku didalam satu atau beberapa mayarakat dengan tujuan melakukan pembinaan hukum
  • Sejarah hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum masa lampau (masa penjajahan kolonial belanda) sampai dengan sekarang dengan tujuan pembinan terhadap hukum
  • Politik hukum adalah memilih nilai-nilai dan menerapkannya dalam kehidupan
  • Nilai yaitu konsepsi abstrak dalam pikiran manusia tentang sesuatu hal yang baik atau buruk
  • Disiplin yaitu suatu ajaran yang menentukan apakah yang seharusnya atau seyogyanya dilakukan dalam menghadapi kenyataan
Perihal perspektif dari pada sosiologi hukum, maka secara umum ada dua pendapat utama, yaitu sebagai berikut :
  1. Pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi yang global, artinya sosiologi hukum harus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai sarana organisasi sosial dan hukum sebagai sarana dari keadilan. Didalam fungsi tersebut maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi hukum didalam mengidentifikasi konteks sosial dimana hukum tadi diharapkan berfungsi.
  2. Pendapat-pendapat lain menyatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang penerangan dan pengkaidahan, dimana sosiologi hukum dapat mengungkapkan data tentang keajegan-keajegan mana didalam masyarakat yang menuju pada pembentukan hukum (baik melalui keputusan penguasa maupun melalui ketetapan bersama dari para warga masyarakat terutama yang menyangkut hukum fakultatif).
Dari perspektif sosiologi hukum tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
  • Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam konteks sosial.
  • Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana untuk mengubah masyarakat atau sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
  • Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum didalam masyarakat.
Manfaat mempelajari Sosilogi Hukum
Hal-hal yang dapat diketahui mempelajari sosiologi hukum
-   Sosiologi dan falsafah hukum (perencana dan penegak hukum)
-   Unsur kebudayaan yang mempengaruhi hukum
-   Golongan masyarakat yang mempengaruhi hukum
-   Golongan mana yang diuntungkan dan golongan mana yang dirugikan
-   Mengtahui kesadaran hukum dan dapat diukur frekuensinya
-   Mengetahui mentalitas dan perilaku penegak hukum
-   Mengetahui hukum yang dapat mengubah perilaku
-   Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap berfungsinya hukum
Kemampuan-kemampuan yang diperoleh setelah mempelajari Sosiologi Hukum
-   Memahami hukum dalam konteks sosialnya
-   Melihat efektivitas hukum baik social control maupun  social engineer
-   Menilai efektivitas hukum
Kegunaan Sosiologi Hukum Praktis bagi Praktisi Hukum
  • Kegunaan dalam menggunakan konkritisasi terhadap kaidah-kaidah hukum tertulis (referensial) yakni kaidah hukum, pedoman hukum yang menunjuk pada pengetahuan di luar ilmu hukum., Misal Pasal 1338 BW (Perencanaan dilakukan dengan itikad baik) dan Pasal 1536 BW (Onrecht matige daad atau perbuatan mmelawan hukum)
  • Dapat mengadakan konkritisasi terhadap pengertian-pengertian hukum yang tidak jelas atau kurang jelas.
  • Dapat membentuk dan merumuskan kaidah hukum yang mempunyai dasar sosial
  • Mampu merumuskan RUU dengan bahasa hukum yang mudah dicerna.
Ilmu hukum yaitu ilmu yang mencakup dan membahas segala hal yang berhubungan dengan hukum.
Metoda untuk meneliti hukum
  • Idiologis (melihat hukum sebagai nilai-nilai), filosofis, yuridis
  • Melihat hukum sebagai sistem atau pengaturan yang abstrak lepas dari hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut (dogmatis)
  • Sosiologis (melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat/efektivitas hukum)
Masalah yang di teliti Ilmu Hukum
  • Mempelajari asas-asas pokok dari hukum (filsafat hukum)
  • Mempelajari sistem formal dari hukum (sosiologi hukum dan dogmatik hukum)
  • Mempelajari konsepsi-konsepsi hukum dan arti fungsionalnya dalam masyarakat (sosiologi hukum)
  • Mempelajari kepentingan-kepentingan sosial apa saja yang dilindungi oleh hukum (sosiologi hukum)
  • Ingin mengetahui tentang apa sesungguhnya hukum itu, dari mana hukum datang atau muncul, apa yang dilakukannya dan dengan cara-cara atau sarana-sarana apa hukum malakukan hal itu ( sejarah hukum)
  • Mempelajari tentang apakah keadilan itu dan bagaimana keadilan itu diwujudkan melalui hukum (filsafat hukum)
  • Mempelajari tentang perkembangan hukum, apakah hukum itu, apakah sejak dulu sama denga sekarang, bagaimana sesungguhnya hukum itu berubah dari masa ke masa (sejarah hukum)
  • Mempelajari pemikiran-pemikiran orang mengenai hukum sepanjang masa (filsafat hukum)
  • Mempelajari bagaimana sesungguhnya kedudukan hukum itu dalam masyarakat, bagaimana hubungan atau kaitannya antara hukum dengan sub-sub sistem lain dalam masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dsb (sosiologi hukum)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Definisi Ekonomi Kreatif

Definisi Ekonomi Kreatif

Konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.ekonomi-kreatif
Menurut ahli ekonomi Paul Romer (1993), ide adalah barang ekonomi yang sangat penting, lebih penting dari objek yang ditekankan di kebanyakan model-model ekonomi. Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya penemuan ide-ide besar bersamaan dengan penemuan jutaan ide-ide kecil-lah yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Ide adalah instruksi yang membuat kita mengkombinasikan sumber daya fisik yang penyusunannya terbatas menjadi lebih bernilai. Romer juga berpendapat bahwa suatu negara miskin karena masyarakatnya tidak mempunyai akses pada ide yang digunakan dalam perindustrian nasional untuk menghasilkan nilai ekonomi.
Howkins (2001) dalam bukunya The Creative Economy menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos, 2007).
Konsep Ekonomi Kreatif ini semakin mendapat perhatian utama di banyak negara karena ternyata dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian. Di Indonesia, gaung Ekonomi Kreatif mulai terdengar saat pemerintah mencari cara untuk meningkatkan daya saing produk nasional dalam menghadapi pasar global. Pemerintah melalui Departemen Perdagangan yang bekerja sama dengan Departemen Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta didukung oleh KADIN kemudian membentuk tim Indonesia Design Power 2006 2010 yang bertujuan untuk menempatkan produk Indonesia menjadi produk yang dapat diterima di pasar internasional namun tetap memiliki karakter nasional. Setelah menyadari akan besarnya kontribusi ekonomi kreatif terhadap negara maka pemerintah selanjutnya melakukan studi yang lebih intensif dan meluncurkan cetak biru pengembangan ekonomi kreatif.
ekonomi-kreatif-2
Dalam upaya merangsang pertumbuhan dan mempromosikan industri kreatif, pemerintah mengadakan program-program berskala besar seperti :
  1. Peluncuran Studi Pemetaan Kontribusi Industri Kreatif Indonesia pada ajang Trade Expo Indonesia
  2. Pencanangan Tahun Indonesia Kreatif tahun 2009
  3. Pekan Produk Kreatif 2009
  4. Pameran Ekonomi Kreatif

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Definisi Ekonomi Kreatif

Konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang merupakan gelombang ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.ekonomi-kreatif
Menurut ahli ekonomi Paul Romer (1993), ide adalah barang ekonomi yang sangat penting, lebih penting dari objek yang ditekankan di kebanyakan model-model ekonomi. Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya penemuan ide-ide besar bersamaan dengan penemuan jutaan ide-ide kecil-lah yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Ide adalah instruksi yang membuat kita mengkombinasikan sumber daya fisik yang penyusunannya terbatas menjadi lebih bernilai. Romer juga berpendapat bahwa suatu negara miskin karena masyarakatnya tidak mempunyai akses pada ide yang digunakan dalam perindustrian nasional untuk menghasilkan nilai ekonomi.
Howkins (2001) dalam bukunya The Creative Economy menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos, 2007).
Konsep Ekonomi Kreatif ini semakin mendapat perhatian utama di banyak negara karena ternyata dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian. Di Indonesia, gaung Ekonomi Kreatif mulai terdengar saat pemerintah mencari cara untuk meningkatkan daya saing produk nasional dalam menghadapi pasar global. Pemerintah melalui Departemen Perdagangan yang bekerja sama dengan Departemen Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta didukung oleh KADIN kemudian membentuk tim Indonesia Design Power 2006 2010 yang bertujuan untuk menempatkan produk Indonesia menjadi produk yang dapat diterima di pasar internasional namun tetap memiliki karakter nasional. Setelah menyadari akan besarnya kontribusi ekonomi kreatif terhadap negara maka pemerintah selanjutnya melakukan studi yang lebih intensif dan meluncurkan cetak biru pengembangan ekonomi kreatif.
ekonomi-kreatif-2
Dalam upaya merangsang pertumbuhan dan mempromosikan industri kreatif, pemerintah mengadakan program-program berskala besar seperti :
  1. Peluncuran Studi Pemetaan Kontribusi Industri Kreatif Indonesia pada ajang Trade Expo Indonesia
  2. Pencanangan Tahun Indonesia Kreatif tahun 2009
  3. Pekan Produk Kreatif 2009
  4. Pameran Ekonomi Kreatif

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sejarah Ke Khalifahan Islam

Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, dan untungnya, komunitas muslim menerima hal ini. Pengganti Umar, Utsman bin Affan, dipilih oleh dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian, Utsman dianggap memimpin seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya terbunuh oleh seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak diterima oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa pemberontakan dan akhirnya terbunuh setelah memimpin selama lima tahun. Periode ini disebut sebagai "Fitna", atau perang sipil islam pertama.

Bani Umayyah

Salah satu kelompok penentang ˤAlī adalah kelompok yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani Umayyah. Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.

Bani Abbasyiah

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengkalim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.

Kekhalifahan "Bayangan"

Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".

Kekaisaran Usmaniyah

Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Peta Kekaisaran usmaniyah
Kekaisaran Usmaniyah
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan paling kuat di dunia.

Keruntuhan kekhalifahan

Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1]. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.

Gerakan Khilafat

Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini. Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Organisasi yang mendekati bentuk sebuah bentuk kekhalifahan saat ini adalah Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.

Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain

Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
  • Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
  • Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.

Argumentasi tentang Pentingnya Khalifah

Dalil al-Qur'an tentang Khalifah

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berarti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.

Dalil as-Sunnah tentang Khalifah

  1. Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].
  2. Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
  3. Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
  4. Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
  5. Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.

Dalil Ijma’ Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.

Dalil Dari Kaidah Syar’iyah

Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya."[rujukan?] Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu dianggap, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram apalagi bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun ada pula buku yang menyatakan bahwa kekhalifahan tidak wajib hukumnya, seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholish Madjid

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS